Selasa, 03 Desember 2013

HUKUM QODHO' SHOLAT BAGI WANITA YANG MENGIRA HAID

   
  
I.           
PENDAHULUAN

Sholat adalah sebuah kewajiban seorang muslim yang dibebankan kepada setiap individu yang mukallaf. Keurgenan sholat juga dikiaskan sebagai pondasi dari dienul islam, ketika sholat ditinggalkan maka robohlah bangunan dienul islam itu.  Dalam tapak perjalanan kehidupan ini terkadang kita sebagai seorang muslimah tanpa sadar menganggap remeh kewajiban sholat dikarenakan adanya keringanan bagi seorang wanita untuk sholat dirumah yang mana tidak seperti laki-laki yang memiliki kewajiban untuk menunaikan sholat berajama’ah di masjid ditambah lagi kita sebagai seorang wanita memiliki jatah libur khusus dari kewajiban sholat tiap bulannya yaitu ketika wanita itu kedatangan tamu bulanannya dan juga masa rehat setelah melahirkan yaitu masa nifas di kedua waktu ini seorang wanita tidak diembankan untuk melaksanakan sholat.
Tapi sangat disayangkan dalam dua waktu rehat ini seorang wanita terkadang terlena dan mendapati beberapa syubhat. Syubhat itu muncul baik dari diri muslimah itu sendiri atau faktor eksternal yang sering tak terduga.
Allah SWT berfirman :
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datang generasi sesudah mereka yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu maka mereka itu akan bertemu dengan kesesatan. (QS. Maryam : 59)
wallohu a’lam bish showab.

A.     Defenisi sholat

1.      Secara bahasa

Kata Ash-Shalat (الصلاة)  berasal dari kata صلا- يصلا –صللة  yang berarti do’a. sebagaimana  firman Alloh Subhanalloh Wa Ta’ala,
“…...Dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu (menumbuhkan) ketentraman jiwa…..” (QS. At-Taubah: 103).
Juga Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wassalam bersabda:
Jika salah seorang diantara kalian diundang, hendaklah ia memenuhinya. Jika ia dalam keadaan berpuasa, hendaklah ia mendo’akannya. Jika ia dalam keaadaan tidak berpuasa hendaklah ia makan. (H.R. Muslim)
Maksudnya, hendaklah ia mendo’akan agar orang yang mengundangnya diberkahi, diberi kebaikan dan ampunan.
Adapun kata Ash-Shalah adalah dengan menggunakan wawu mempunyai arti rahmat. Dan dikatakan, asli Ash-Sholat adalah menerima sesuatu . dan dikatakan juga, makna Ash-Shalat adalah membawa akal kepada Alloh Subhanahu Wa ta’ala agar kita bersujud kepada Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala, bersyukur dan meminta pertolongan kepada_Nya.
Kata Ash-sholat juga mempunyai makna pujian, yaitu apabila dibarengi dengan lafadz Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
“sesungguhnya Alloh dan malaikat-Nya bersholawat untuk nabi . Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-Nya.”
Maksudnya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala memuji (Nabi Muhammad Shalollahu ‘alai wassalam) diantara para malaikat. Alloh Subhanahu wa ta’ala memujinya ditempat yang paling tinggi karena kecintaan-Nya kepada beliau. Dan Malaikat muqorrobin pun memujinya.
Shalawat dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah pujian, sedangkan dari makhluk (malaikat dan manusia dan jin)  adalah berdiri, ruku’, sujud, berdo’a, beristighfar dan tasbih sedangkan shalat dari burung dan seranggga adalah tasbih.

2.      Secara Istilah

Shalat menurut syari’at berarti ibadah kepada Alloh Subhanahu WaTa’ala dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang diketahui, diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam, dengan niat dan syarat-syarat yang khusus
Disebut sholat dikarenakan mencakup kelengkapan do’a, bahkan sholat merupakan sebutan untuk setiap do’a, lalu pindah menjadi sholat yang disyari’atkan karena antara sholat dan do’a terdapat kesesuaian.
Kandungan do’a didalam meliputi seluruh macam tujuan do’a adalah;
a)    Do’a permohonan yakni memohon kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar memperoleh kebaikan dan terhindar dari bahaya.
b)   Do’a ibadah yakni beribadah kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala macam ibadah, baik dengan hati, perkataan, maupun perbuatan. Ketika sholat, seorang hamba menghadap kepada alloh Subhanahu Wa Ta’ala dengan hatinya, melafadzkan bacaan sholat dengan lisannya dan ruku’ serta sujud dengan badannya. Oleh karena itu, barang siapa mengerjakan  hal tersebut berarti ia telah berdo’a kepada Robbnya dan memohon kepada_Nya agar memberikan ampunan kepadanya.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa sholat secara keseluruhan adalah do’a permohonan, karena mencakup seluruh aspek makna do’a.

B.     Defenisi Qodho’

Qodho’ di dalam bahasa arab punya arti yang banyak, ia bisa diartikan sebagai al-Hukmu (hokum), juga bisa berarti al-Kholqu wa as-Shun’u (ciptaan), juga bermakna al-‘Amal (pekerjaan), ia juga diartikan dengan الأداء (pelaksanaan). Dan arti yang terakhir inilah yang punya hubngannya dengan permasalahan qodho’ sholat.
secara istilah Ibnu ‘Abidin mendefinisikan dengan :
الْقَضَاءُ فِعْل الْوَاجِبِ بَعْدَ وَقْتِهِ
“Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya “
Qhodo’ itu lawannya ada’ (أداء) yang berarti :
فِعْل الْوَاجِبِ فِي وَقْتِهِ
“Mengerjakan kewajiban di waktunya”

C.     Definisi Haid

1.      Secara Bahasa

Haid secara bahasa adalah peristiwa fisiologis dan siklus pada wanita dalam masa reproduksi dengan keluarnya darah darr rahim sebagai akibat pelepasan selaput lendir rahim; menstruasi

2.      Secara Istilah

Haid adalah darah yang keluar dari rahim secara berkala melalui vagina – bukan setelah melahirkan– pada usia subur

3.      Usia Haid

Wanita dapat mengalami haid minimal sejak usia sembilan tahun  dan kurang 16 hari dengan hitungan kalender Hijriyah .

4.      Masa Haid

Minimal masa haid adalah 24 jam jika darahnya keluar terus. Maksimalnya 15 hari 15 malam (360 jam) walaupun darahnya putus-putus, namun bila dijumlah darahnya mencapai 24 jam atau lebih.
Contoh; wanita yang pada tanggal 1 mengalami pendarahan 2 jam dan bersih 72 jam (3 hari). Kemudian mengalami pendarahan lagi 20 jam lalu bersih 10 hari. Selanjutnya keluar darah lagi 2 jam. Maka semua darahnya dihukumi haid. Karena jika dijumlah mencapai 24 jam dalam kurun waktu 15 hari.
Ulama berbeda pendapat mengenai masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi haid, ada pula yang menghukumi suci. Oleh karena itu wanita yang haidnya putus-putus, setiap darahnya berhenti wajib bersuci dan shalat (bila mengikuti pendapat yang kedua).
Semisal ada orang mengalami haid 2 hari lalu bersih. Ia mengira dirinya sudah suci. Kemudian melaksanakan puasa. Selang 10 hari kemudian ternyata keluar darah lagi 2 hari. Maka semua darahnya dihukumi haid. Sedangkan puasa yang ia lakukan di masa bersih, bila mengikuti pendapat yang kedua, hukumnya sah. Namun bila mengikuti pendapat yang pertama (haid) ia wajib mengulangi lagi puasanya, sebab tidak sah.
Wanita yang kebiasaan haidnya 9 hari, lalu pada suatu saat mengalami pendarahan dua hari, dan bersih. Jika ada kemungkinan darahnya akan keluar lagi, ia boleh menunggu (tidak shalat) hingga hari ke 9. Namun jika ternyata darahnya tidak kembali lagi, ia harus mengqadha’ shalatnya .
Wanita yang mengalami haid dapat mengetahui bahwa darahnya bersih dengan cara memasukkan segumpal kapas ke dalam vagina. Bila pada kapas tersebut ada bercak (sekalipun hanya cairan keruh) berarti belum bersih / suci. Meskipun cairan tersebut tidak sampai mengalir ke vagina bagian luar (bagian yang tampak ketika sedang jongkok buang air) .
Banyak mereka yang salah paham dan menganggap cairan keruh keputihan bukan haid. Padahal kenyataannya empat mazhab menjelaskan yang sedemikian itu disebut haid. Kesalahpahaman ini berakibat fatal. Sebab sebagian besar wanita mengalami pendarahan haid seperti berikut. Mula-mula keluar cairan keruh keputihan. Dan itu berlangsung hingga 2 hari (misalnya). Lalu keluar merah 4 hari. Kemudian keluar cairan keruh lagi 2 hari. Maka haidnya 8 hari. Sementara ada anggapan bahwa yang dihukumi haid hanya darah merah (yang 4 hari) saja. Sedangkan yang keruh dihukumi suci. Jadi pada saat merahnya berganti keruh, ia pun mandi. Kenyataannya ia masih dalam keadaan haid. Maka mandinya tidak sah. Kelak ketika haidnya benar-benar telah suci dengan bersihnya cairan keruh, ia berkewajiban shalat. Dan shalatnya tidak akan pernah sah kecuali ia melakukan mandi hadats.
Setiap wanita haid wajib melihat keadaan darahnya ketika hendak tidur dan setiap menjelang akhir waktu shalat. Untuk mengetahui shalat yang wajib dilaksanakan bila darahnya berhenti (dan tidak kembali lagi).
Namun menurut mazhab Maliki walaupun darahnya akan kembali lagi tetap wajib shalat. Sebab mazhab Maliki sepakat bahwa masa bersih di sela-sela haid dihukumi suci.
Wanita yang mengeluarkan darah putus-putus selama 15 hari 15 malam tetapi setelah dijumlahkan masa keluarnya tidak sampai 24 jam, tidak dihukumi haid. Dalam masalah ini imam Abil Abbas dari kalangan Syafi’iyah menghukuminya haid (beserta masa bersih di sela-selanya)
Wanita hamil yang mengalami pendarahan, menurut mazhab Syafii dan Maliki disebut haid. Namun menurut Hanafi dan Hambali bukan haid .

D.     Nifas

1.      Definisi Nifas

Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, meskipun yang dilahirkan hanya berupa ‘alaqah (gumpalan darah) atau mudghah (gumpalan daging). Atau yang dikenal dengan keguguran. Walaupun plasentanya (ari-ari, jw) masih tertinggal di dalam rahim.

2.      Masa Nifas

Waktu nifas minimal satu tetes atau sebentar. Maksimalnya 60 hari 60 malam, terhitung sejak dari keluarnya seluruh tubuh janin atau gumpalan daging.
Hitungan nifas dimulai sejak usai melahirkan, bukan sejak keluarnya darah. Tetapi yang dihukumi nifas sejak keluarnya darah. Jadi wanita yang melahirkan tanggal satu kemudian tanggal sepuluh baru keluar darah, maka hitungan enam puluh hari enam puluh  malam dihitung sejak tanggal satu.
Wanita yang mengalami pendarahan dengan terputus-putus sebelum 60 hari 60 malam setelah melahirkan, maka semua darahnya dihukumi nifas. Sedangkan masa bersih di sela-sela nifas hukumnya sama dengan masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi suci, ada yang menghukumi nifas.
Tapi perlu diingat, bila putusnya mencapai 15 hari 15 malam. Maka darah setelah masa putus tersebut bukan lagi nifas melainkan haid. Dan masa putus tersebut dihukumi suci.
Pendarahan yang karena melahirkan yang terjadi sebelum atau menyertai kelahiran tidak dihukumi nifas, ataupun haid. Kecuali bila bersambung dengan pendarahan haid yang terjadi sebelumnya. Misalnya wanita yang sebelum merasakan sakit akan melahirkan sudah mengalami pendarahaan beberapa hari (lebih 24 jam) sampai dengan terasa akan melahirkan ia tetap mengalami pendarahan. Maka semua darahnya dihukumi haid.

3.      Masa Suci

Masa suci yang memisahkan haid dengan nifas atau nifas dengan nifas tidak harus 15 hari 15 malam (360 jam). Mungkin kurang dari 15 hari 15 malam (360 jam), atau bahkan tidak ada masa suci sama sekali. Dengan kata lain, tidak sama dengan masa suci antara dua haid.
Beberapa contoh:
Contoh 1: Seorang ibu melahirkan bayi kembar. Jika kelahiran pertama terjadi di pagi hari (misalnya) lalu mengalami pendarahan. Kemudian kelahiran ke dua terjadi di malam hari, disusul dengan pendarahan. Maka pendarahan setelah kelahiran pertama dihukumi nifas. Lalu setelah kelahiran kedua juga nifas yang lain. Dalam contoh ini, tidak terdapat masa suci yang memisahkan di antara dua nifas.
Contoh 2: Wanita hamil mengalami haid dan tidak putus hingga melahirkan. Kemudian mengalami pendarahan selama 10 hari. Dalam kasus ke 2 ini, darah yang keluar sebelum melahirkan dihukumi haid. Darah yang keluar setelah melahirkan dihukumi nifas. Haid dan nifasnya tidak dipisah oleh masa suci.
Contoh 3: Wanita yang mengalami nifas dan telah genap 60 hari. Darahnya berhenti  sebentar lalu mengeluarkan darah lagi selama dua hari. Di sini, darah yang keluar setelah bersih disebut haid. Sedangkan bersihnya darah disebut suci. Artinya, masa suci yang terjadi antara nifas dan haid hanya sebentar.

    II.            PEMBAHASAN

A.     Mengqadha` Shalat Yang Terlanjur Ditinggalkan

Para ulama banyak mengatakan bahwa bila seseorang karena satu dan lain hal telah meninggalkan kewajiban shalat, baik karena tidak tahu atau karena kelalaiannya, dia wajib untuk mengganti shalatnya yang luput itu.
Dr. Yunus Muhyiddin Al-Asthal menuliskan bahwa dalam kasus seperti itu, qadha` shalat bisa dilakukan setiap hari setelah shalat wajib yang lima waktu dikerjakan. Dan silahkan dihitung-hitung sendiri jumlah shalat yang harus digantinya.
Segala tanggungan harus telah ditunaikan sebelum Allah Subhana wa Ta’ala mendadak memanggilnya untuk menghadap dan mempertanggung-jawabkan semua amalnya. Padahal dari semua jenis amal yang akan dihisab nanti, amalan shalatlah yang akan menjadi tema utama dan sangat menentukan.

B.     Seputar Qodho’ sholat

1.      Kewajiban mengqodho' sholat yang ditinggalkan

Orang yang wajib mengerjakan sholat, kemudian ia tidak mengerjakannya sampai waktunya habis, maka ia diwajibkan mengqodho' sholat yang ia tinggalkan, berdasarkan sabda Nabi ;
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
"Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat, maka hendaklah ia melaksanakannya jika telah mengingatnya, tidak ada tebusan baginya kecuali itu." (Shohih Bukhori, no.597 dan Shohih Muslim, no.684) Dalam riwayat lain dijelaskan ;
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan sholat tersebut ketika ia ingat." (Shohih Muslim, no.684)

2.      Bergegas mengqodho' sholat

Dan diperbolehkan mengakhirkan qodho' sholat yang ditinggalkan, apabila sholat tersebut ditinggalkan karena ada udzur, seperti ketiduran. Ketentuan ini didasarkan pada hadits nabi ;
عَنْ عِمْرَانَ، قَالَ: كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ، وَقَعْنَا وَقْعَةً، وَلاَ وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ المُسَافِرِ مِنْهَا، فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ، وَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَيْقَظَ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ - يُسَمِّيهِمْ أَبُو رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ الرَّابِعُ - وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ، لِأَنَّا لاَ نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا جَلِيدًا، فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ، فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ، قَالَ: «لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا»، فَارْتَحَلَ، فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالوَضُوءِ، فَتَوَضَّأَ، وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ، فَصَلَّى بِالنَّاسِ
"Dari 'Imron, ia berkata, Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kami berjalan di waktu malam hingga ketika sampai di akhir malam kami tidur, dan tidak ada tidur yang paling enak (nyenyak) bagi musafir melebihi yang kami alami. Hingga tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas sinar matahari. Dan orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si fulan, lalu seseorang yang Abu 'Auf mengenalnya namun akhirnya lupa. Dan 'Umar bin Al Khaththab adalah orang keempat saat bangun, Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila tidur tidak ada yang membangunkannya hingga beliau bangun sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika 'Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang kesiangan) -dan 'Umar adalah seorang yang tegar penuh keshabaran-, maka ia bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir 'Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka alami. Maka beliau bersabda: Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah perjalanan. Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu berwudlu kemudian menyeru untuk shalat. Maka beliau shalat bersama orang banyak." (Shohih Bukhori, no.344)
Namun disunatkan untuk bergegas mengqodho' sholat yang ditinggalkan karena adanya udzur. Sedangkan apabila sholat tersebut ditinggalkan tanpa adanya udzur maka diwajibkan untuk segera mengqodho' sholat yang ditinggalkan menurut pendapat yang shohih.
  1. Urutan qodho' sholat
Apabila sholat yang ditinggalkan lebih dari satu, disunatkan untuk mengqodho' sholat-sholat tersebut berurutan, sesuai dengan waktunya. Kesunatan ini didasarkan pada hadits ;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ
“Dari Jabir bin Abdillah Rodhiyallohu’anhuma, bahwasannya Umar bin Khottob Rodhiyallohu’anhu datang pada hari peperangan Khondaq setelah matahari akan tenggelam, lalu beliau mulai mencerca orang-orang kafir Quraisy (karena menyebabkan para sahabat terlambat sholat ashar), beliau berkata: “Wahai Rosulullah, aku belum melakukan sholat ashar padahal matahari hampir tenggelam.” Nabi shollallohu’alaihi wa sallam bersabda: “Aku pun belum sholat ashar.” Maka kami bangkit menuju lembah buthhan, lalu Nabi shollallohu’alaihi wa sallam berwudhu untuk sholat, kami pun ikut berwudhu, lalu Rosulullah shollallohu’alaihi wa sallam melakukan sholat ashar setelah matahari terbenam (di waktu maghrib), kemudian setelah itu beliau sholat maghrib.” (Shohih Bukhori, no.596)
  1. Tata cara sholat qodho'
Cara mengerjakan sholat qodho' itu sama dengan sholat ada' (sholat yang dikerjakan pada waktunya) dalam semua hal, mulai dari syarat sah sampai  rukun-rukunnya. Sedikit perbedaannya terletak pada niatnya, dalam sholat qodho' disunatkan untuk mengganti kata "ada'an" dengan kata "qodho'an". Namun, hal ini tidak wajib, sebab dalam madzhab syafi'i tidak diwajibkan untuk menyinggung ada' atau qodho' ketika niat, hanya saja penambahan kata "qodho'an" dianjurkan untuk menghindari perselisihan seputar diwajibkannya penambahan tersebut.

5.      Wajibkah mengqodho’ sholat bagi wanita yang mengira haid atau nifas?

Ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat urgen, karena tidak bisa dipungkiri  bahwa dalam siklus haid yang menjadi  tamu rutin seorang wanita  kadang didapati sebuah keraguan bahwa dirinya sedang haid atau tidak, hingga terkadang perkiraan bahwa dirinya haid atau tidak terkadang meleset.
Nah, karena ini berbicara hokum wajibkah meqodho’ sholat  bagi seorang yang mengira bahwa dirinya haid, maka terdapat dua kemungkinan, jika  perkiraannya sesuai dengan apayang terjadi (dia dalam keadaan haid atau nifas_pent) maka sudah menjadi kewajibannya untuk meninggalkan sholat dan dia tidak memili tanggungan sholat, tapi jika perkiraannya salah yaitu kenyataanyya bahwa dia tidak haid maka wajib baginya untuk mengqodho’ sholat yang tertinggal karena  sholat merupakan tanggungan yang tak bisa tergantikan kecuali di ganti dengan sholat pula. berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi wassalam ;
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
"Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat, maka hendaklah ia melaksanakannya jika telah mengingatnya, tidak ada tebusan baginya kecuali itu." (Shohih Bukhori, no.597 dan Shohih Muslim, no.684)

 III.            PENUTUP

Alhamdulillah, berakhir pula pembahasan  dalam makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sholat merupakan sebuah tanggungan yang diemban bagi setiap muslim dan tidak bisa digantikan dengan amalan yang lain kecuali dangan sholat itu sendiri.
Maka dengan ini dihimbau untuk setiap muslimah untuk selalu berhati-hati dalam menjaga sholatnya. Jangan sampai ia tertinggal karena kelalaian kita dalam mengira diri kita sedang haid maupun nifas. Wallahu a’lam bish showab
REFERENSI:
ü  Al-Qur’an dan terjemahnya
ü  Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke -2. Jakarta Balai Pustaka
ü  Wahbatu Az-Zuhailli. 2007 M. Al-Fiqhul Islam wa Adillatuh. Cet. Ke-10. Damaskus. Dar al-Fikr
ü  Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim. 2006 M. Shahih Fqih Sunnah. Jakarta. Pustaka at-Tazkia.
ü  internet

5 komentar:

  1. Assalamualaikum..bagaimana kalau dihari ke 6 masa haid merasa bersih tetapi setelah bersuci keluar darah encer namun dihari ke 7 n 8 tidak keluar apa2,tapi di hari ke 9 keluar bercak coklat setelah itu tidak kluar apa2 lg.apakah bercak coklat itu terhitung haid?lantas gmn dgn sholat yg ditinggalkn pd tgl 7 dan 8?terima kasih

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum..bagaimana kalau dihari ke 6 masa haid merasa bersih tetapi setelah bersuci keluar darah encer namun dihari ke 7 n 8 tidak keluar apa2,tapi di hari ke 9 keluar bercak coklat setelah itu tidak kluar apa2 lg.apakah bercak coklat itu terhitung haid?lantas gmn dgn sholat yg ditinggalkn pd tgl 7 dan 8?terima kasih

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum
    Bgaimana kalau saya mengira saya haid ketika wktu shalat dzuhur,, tetapi ketika melihat kembali kondisi darah di waktu isya,sepertinya bukan haid. Bgimana cara sy mengqodho' shalat
    Saya merasa meninggalkan 3 waktu shalat

    BalasHapus
  4. Asalamualaikum
    Bagaimana jika cairan yang keluar tersebut coklat dan saya mengira ini memang haid tapi apakah ini haid
    Saya juga telah meninggalkan sholat selama berhari hari karena saya kira memang haid lalu apa yang harus saya lakukan .
    Trimakasih,

    BalasHapus
  5. Assalamu'alaikum.. Ka saya mau tanya kan pas awal awal saya berhubungan intim saya keluar darah saya kira itu darah haid dan saya tidak solat selama sekitar 3 hari selama darah itu terus keluar tapi ternyata itu bukan darah haid mungkin selaput dara nya robek apakah saya diwajibkan mengqodho solat yg saya tinggalkan selama 3 hari tsb?
    Terimakasih

    BalasHapus