I. PENDAHULUAN
Sholat
adalah sebuah kewajiban seorang muslim yang dibebankan kepada setiap individu
yang mukallaf. Keurgenan sholat juga dikiaskan sebagai pondasi dari dienul
islam, ketika sholat ditinggalkan maka robohlah bangunan dienul islam itu. Dalam tapak perjalanan kehidupan ini
terkadang kita sebagai seorang muslimah tanpa sadar menganggap remeh kewajiban
sholat dikarenakan adanya keringanan bagi seorang wanita untuk sholat dirumah
yang mana tidak seperti laki-laki yang memiliki kewajiban untuk menunaikan
sholat berajama’ah di masjid ditambah lagi kita sebagai seorang wanita memiliki
jatah libur khusus dari kewajiban sholat tiap bulannya yaitu ketika wanita itu
kedatangan tamu bulanannya dan juga masa rehat setelah melahirkan yaitu
masa nifas di kedua waktu ini seorang wanita tidak diembankan untuk
melaksanakan sholat.
Tapi
sangat disayangkan dalam dua waktu rehat ini seorang wanita terkadang
terlena dan mendapati beberapa syubhat. Syubhat itu muncul baik dari diri muslimah
itu sendiri atau faktor eksternal yang sering tak terduga.
Allah
SWT berfirman :
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ
وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka
datang generasi sesudah mereka yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu
maka mereka itu akan bertemu dengan kesesatan. (QS. Maryam : 59)
wallohu
a’lam bish showab.
A. Defenisi sholat
1. Secara bahasa
Kata
Ash-Shalat (الصلاة) berasal dari kata صلا-
يصلا –صللة yang
berarti do’a. sebagaimana firman Alloh Subhanalloh
Wa Ta’ala,
“…...Dan
berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu (menumbuhkan) ketentraman jiwa…..”
(QS. At-Taubah: 103).
Juga
Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Jika
salah seorang diantara kalian diundang, hendaklah ia memenuhinya. Jika ia dalam
keadaan berpuasa, hendaklah ia mendo’akannya. Jika ia dalam keaadaan tidak
berpuasa hendaklah ia makan. (H.R. Muslim)
Maksudnya,
hendaklah ia mendo’akan agar orang yang mengundangnya diberkahi, diberi
kebaikan dan ampunan.
Adapun
kata Ash-Shalah adalah dengan menggunakan wawu mempunyai arti rahmat.
Dan dikatakan, asli Ash-Sholat adalah menerima sesuatu . dan dikatakan juga,
makna Ash-Shalat adalah membawa akal kepada Alloh Subhanahu Wa ta’ala agar kita
bersujud kepada Alloh Subhanallohu Wa Ta’ala, bersyukur dan meminta
pertolongan kepada_Nya.
Kata
Ash-sholat juga mempunyai makna pujian, yaitu apabila dibarengi dengan
lafadz Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa
Ta’ala,
“sesungguhnya
Alloh dan malaikat-Nya bersholawat untuk nabi . Hai orang-orang yang beriman,
bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-Nya.”
Maksudnya,
Alloh Subhanahu wa Ta’ala memuji (Nabi Muhammad Shalollahu ‘alai wassalam)
diantara para malaikat. Alloh Subhanahu wa ta’ala memujinya ditempat
yang paling tinggi karena kecintaan-Nya kepada beliau. Dan Malaikat muqorrobin
pun memujinya.
Shalawat
dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah pujian, sedangkan dari makhluk
(malaikat dan manusia dan jin) adalah
berdiri, ruku’, sujud, berdo’a, beristighfar dan tasbih sedangkan shalat dari
burung dan seranggga adalah tasbih.
2. Secara Istilah
Shalat
menurut syari’at berarti ibadah kepada Alloh Subhanahu WaTa’ala dalam
bentuk ucapan dan perbuatan yang diketahui, diawali dengan takbir dan ditutup
dengan salam, dengan niat dan syarat-syarat yang khusus
Disebut
sholat dikarenakan mencakup kelengkapan do’a, bahkan sholat merupakan sebutan
untuk setiap do’a, lalu pindah menjadi sholat yang disyari’atkan karena antara
sholat dan do’a terdapat kesesuaian.
Kandungan
do’a didalam meliputi seluruh macam tujuan do’a adalah;
a) Do’a permohonan yakni memohon kepada Alloh Subhanahu
wa Ta’ala agar memperoleh kebaikan dan terhindar dari bahaya.
b) Do’a ibadah yakni beribadah kepada Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala dengan segala macam ibadah, baik dengan hati, perkataan, maupun
perbuatan. Ketika sholat, seorang hamba menghadap kepada alloh Subhanahu Wa
Ta’ala dengan hatinya, melafadzkan bacaan sholat dengan lisannya dan ruku’
serta sujud dengan badannya. Oleh karena itu, barang siapa mengerjakan hal tersebut berarti ia telah berdo’a kepada
Robbnya dan memohon kepada_Nya agar memberikan ampunan kepadanya.
Dengan
demikian, tampak jelas bahwa sholat secara keseluruhan adalah do’a permohonan,
karena mencakup seluruh aspek makna do’a.
B. Defenisi Qodho’
Qodho’
di dalam bahasa arab punya arti yang banyak, ia bisa diartikan sebagai al-Hukmu
(hokum), juga bisa berarti al-Kholqu wa as-Shun’u (ciptaan), juga bermakna
al-‘Amal (pekerjaan), ia juga diartikan dengan الأداء
(pelaksanaan). Dan arti yang terakhir inilah yang punya hubngannya dengan
permasalahan qodho’ sholat.
secara
istilah Ibnu ‘Abidin mendefinisikan dengan :
الْقَضَاءُ فِعْل الْوَاجِبِ بَعْدَ وَقْتِهِ
“Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya “
Qhodo’
itu lawannya ada’ (أداء) yang berarti :
فِعْل الْوَاجِبِ فِي وَقْتِهِ
“Mengerjakan
kewajiban di waktunya”
C. Definisi Haid
1. Secara Bahasa
Haid
secara bahasa adalah peristiwa fisiologis dan siklus pada wanita dalam masa
reproduksi dengan keluarnya darah darr rahim sebagai akibat pelepasan selaput
lendir rahim; menstruasi
2. Secara Istilah
Haid
adalah darah yang keluar dari rahim secara berkala melalui vagina – bukan setelah
melahirkan– pada usia subur
3. Usia Haid
Wanita
dapat mengalami haid minimal sejak usia sembilan tahun dan kurang 16 hari dengan hitungan kalender
Hijriyah .
4. Masa Haid
Minimal
masa haid adalah 24 jam jika darahnya keluar terus. Maksimalnya 15 hari 15
malam (360 jam) walaupun darahnya putus-putus, namun bila dijumlah darahnya
mencapai 24 jam atau lebih.
Contoh;
wanita yang pada tanggal 1 mengalami pendarahan 2 jam dan bersih 72 jam (3
hari). Kemudian mengalami pendarahan lagi 20 jam lalu bersih 10 hari.
Selanjutnya keluar darah lagi 2 jam. Maka semua darahnya dihukumi haid. Karena
jika dijumlah mencapai 24 jam dalam kurun waktu 15 hari.
Ulama
berbeda pendapat mengenai masa bersih di sela-sela haid. Ada yang menghukumi
haid, ada pula yang menghukumi suci. Oleh karena itu wanita yang haidnya
putus-putus, setiap darahnya berhenti wajib bersuci dan shalat (bila mengikuti
pendapat yang kedua).
Semisal
ada orang mengalami haid 2 hari lalu bersih. Ia mengira dirinya sudah suci.
Kemudian melaksanakan puasa. Selang 10 hari kemudian ternyata keluar darah lagi
2 hari. Maka semua darahnya dihukumi haid. Sedangkan puasa yang ia lakukan di
masa bersih, bila mengikuti pendapat yang kedua, hukumnya sah. Namun bila
mengikuti pendapat yang pertama (haid) ia wajib mengulangi lagi puasanya, sebab
tidak sah.
Wanita
yang kebiasaan haidnya 9 hari, lalu pada suatu saat mengalami pendarahan dua
hari, dan bersih. Jika ada kemungkinan darahnya akan keluar lagi, ia boleh
menunggu (tidak shalat) hingga hari ke 9. Namun jika ternyata darahnya tidak
kembali lagi, ia harus mengqadha’ shalatnya .
Wanita
yang mengalami haid dapat mengetahui bahwa darahnya bersih dengan cara
memasukkan segumpal kapas ke dalam vagina. Bila pada kapas tersebut ada bercak
(sekalipun hanya cairan keruh) berarti belum bersih / suci. Meskipun cairan
tersebut tidak sampai mengalir ke vagina bagian luar (bagian yang tampak ketika
sedang jongkok buang air) .
Banyak
mereka yang salah paham dan menganggap cairan keruh keputihan bukan haid.
Padahal kenyataannya empat mazhab menjelaskan yang sedemikian itu disebut haid.
Kesalahpahaman ini berakibat fatal. Sebab sebagian besar wanita mengalami
pendarahan haid seperti berikut. Mula-mula keluar cairan keruh keputihan. Dan
itu berlangsung hingga 2 hari (misalnya). Lalu keluar merah 4 hari. Kemudian
keluar cairan keruh lagi 2 hari. Maka haidnya 8 hari. Sementara ada anggapan
bahwa yang dihukumi haid hanya darah merah (yang 4 hari) saja. Sedangkan yang
keruh dihukumi suci. Jadi pada saat merahnya berganti keruh, ia pun mandi.
Kenyataannya ia masih dalam keadaan haid. Maka mandinya tidak sah. Kelak ketika
haidnya benar-benar telah suci dengan bersihnya cairan keruh, ia berkewajiban
shalat. Dan shalatnya tidak akan pernah sah kecuali ia melakukan mandi hadats.
Setiap
wanita haid wajib melihat keadaan darahnya ketika hendak tidur dan setiap
menjelang akhir waktu shalat. Untuk mengetahui shalat yang wajib dilaksanakan
bila darahnya berhenti (dan tidak kembali lagi).
Namun
menurut mazhab Maliki walaupun darahnya akan kembali lagi tetap wajib shalat.
Sebab mazhab Maliki sepakat bahwa masa bersih di sela-sela haid dihukumi suci.
Wanita
yang mengeluarkan darah putus-putus selama 15 hari 15 malam tetapi setelah
dijumlahkan masa keluarnya tidak sampai 24 jam, tidak dihukumi haid. Dalam
masalah ini imam Abil Abbas dari kalangan Syafi’iyah menghukuminya haid
(beserta masa bersih di sela-selanya)
Wanita
hamil yang mengalami pendarahan, menurut mazhab Syafii dan Maliki disebut haid.
Namun menurut Hanafi dan Hambali bukan haid .
D. Nifas
1. Definisi Nifas
Nifas
adalah darah yang keluar setelah melahirkan, meskipun yang dilahirkan hanya
berupa ‘alaqah (gumpalan darah) atau mudghah (gumpalan daging). Atau yang
dikenal dengan keguguran. Walaupun plasentanya (ari-ari, jw) masih tertinggal
di dalam rahim.
2. Masa Nifas
Waktu
nifas minimal satu tetes atau sebentar. Maksimalnya 60 hari 60 malam, terhitung
sejak dari keluarnya seluruh tubuh janin atau gumpalan daging.
Hitungan
nifas dimulai sejak usai melahirkan, bukan sejak keluarnya darah. Tetapi yang
dihukumi nifas sejak keluarnya darah. Jadi wanita yang melahirkan tanggal satu
kemudian tanggal sepuluh baru keluar darah, maka hitungan enam puluh hari enam
puluh malam dihitung sejak tanggal satu.
Wanita
yang mengalami pendarahan dengan terputus-putus sebelum 60 hari 60 malam
setelah melahirkan, maka semua darahnya dihukumi nifas. Sedangkan masa bersih
di sela-sela nifas hukumnya sama dengan masa bersih di sela-sela haid. Ada yang
menghukumi suci, ada yang menghukumi nifas.
Tapi
perlu diingat, bila putusnya mencapai 15 hari 15 malam. Maka darah setelah masa
putus tersebut bukan lagi nifas melainkan haid. Dan masa putus tersebut
dihukumi suci.
Pendarahan
yang karena melahirkan yang terjadi sebelum atau menyertai kelahiran tidak
dihukumi nifas, ataupun haid. Kecuali bila bersambung dengan pendarahan haid
yang terjadi sebelumnya. Misalnya wanita yang sebelum merasakan sakit akan
melahirkan sudah mengalami pendarahaan beberapa hari (lebih 24 jam) sampai
dengan terasa akan melahirkan ia tetap mengalami pendarahan. Maka semua
darahnya dihukumi haid.
3. Masa Suci
Masa
suci yang memisahkan haid dengan nifas atau nifas dengan nifas tidak harus 15
hari 15 malam (360 jam). Mungkin kurang dari 15 hari 15 malam (360 jam), atau
bahkan tidak ada masa suci sama sekali. Dengan kata lain, tidak sama dengan
masa suci antara dua haid.
Beberapa
contoh:
Contoh 1:
Seorang ibu melahirkan bayi kembar. Jika kelahiran pertama terjadi di pagi hari
(misalnya) lalu mengalami pendarahan. Kemudian kelahiran ke dua terjadi di
malam hari, disusul dengan pendarahan. Maka pendarahan setelah kelahiran
pertama dihukumi nifas. Lalu setelah kelahiran kedua juga nifas yang lain.
Dalam contoh ini, tidak terdapat masa suci yang memisahkan di antara dua nifas.
Contoh 2:
Wanita hamil mengalami haid dan tidak putus hingga melahirkan. Kemudian
mengalami pendarahan selama 10 hari. Dalam kasus ke 2 ini, darah yang keluar
sebelum melahirkan dihukumi haid. Darah yang keluar setelah melahirkan dihukumi
nifas. Haid dan nifasnya tidak dipisah oleh masa suci.
Contoh 3:
Wanita yang mengalami nifas dan telah genap 60 hari. Darahnya berhenti sebentar lalu mengeluarkan darah lagi selama
dua hari. Di sini, darah yang keluar setelah bersih disebut haid. Sedangkan
bersihnya darah disebut suci. Artinya, masa suci yang terjadi antara nifas dan
haid hanya sebentar.
II. PEMBAHASAN
A. Mengqadha` Shalat Yang Terlanjur Ditinggalkan
Para
ulama banyak mengatakan bahwa bila seseorang karena satu dan lain hal telah
meninggalkan kewajiban shalat, baik karena tidak tahu atau karena kelalaiannya,
dia wajib untuk mengganti shalatnya yang luput itu.
Dr.
Yunus Muhyiddin Al-Asthal menuliskan bahwa dalam kasus seperti itu, qadha`
shalat bisa dilakukan setiap hari setelah shalat wajib yang lima waktu
dikerjakan. Dan silahkan dihitung-hitung sendiri jumlah shalat yang harus
digantinya.
Segala
tanggungan harus telah ditunaikan sebelum Allah Subhana wa Ta’ala mendadak
memanggilnya untuk menghadap dan mempertanggung-jawabkan semua amalnya. Padahal
dari semua jenis amal yang akan dihisab nanti, amalan shalatlah yang akan
menjadi tema utama dan sangat menentukan.
B. Seputar Qodho’ sholat
1. Kewajiban mengqodho' sholat yang ditinggalkan
Orang
yang wajib mengerjakan sholat, kemudian ia tidak mengerjakannya sampai waktunya
habis, maka ia diwajibkan mengqodho' sholat yang ia tinggalkan, berdasarkan
sabda Nabi ;
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ
كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
"Barang
siapa yang lupa mengerjakan sholat, maka hendaklah ia melaksanakannya jika
telah mengingatnya, tidak ada tebusan baginya kecuali itu." (Shohih
Bukhori, no.597 dan Shohih Muslim, no.684) Dalam riwayat lain dijelaskan ;
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ
عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Apabila
salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat
atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan sholat tersebut ketika ia
ingat." (Shohih Muslim, no.684)
2. Bergegas mengqodho' sholat
Dan
diperbolehkan mengakhirkan qodho' sholat yang ditinggalkan, apabila sholat
tersebut ditinggalkan karena ada udzur, seperti ketiduran. Ketentuan ini
didasarkan pada hadits nabi ;
عَنْ عِمْرَانَ، قَالَ: كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا
فِي آخِرِ اللَّيْلِ، وَقَعْنَا وَقْعَةً، وَلاَ وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ
المُسَافِرِ مِنْهَا، فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ، وَكَانَ أَوَّلَ
مَنِ اسْتَيْقَظَ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ - يُسَمِّيهِمْ أَبُو
رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ الرَّابِعُ - وَكَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى
يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ، لِأَنَّا لاَ نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ،
فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا
جَلِيدًا، فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ، فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ
وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي
أَصَابَهُمْ، قَالَ: «لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا»، فَارْتَحَلَ،
فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالوَضُوءِ، فَتَوَضَّأَ،
وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ، فَصَلَّى بِالنَّاسِ
"Dari
'Imron, ia berkata, Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, kami berjalan di waktu malam hingga ketika sampai di akhir
malam kami tidur, dan tidak ada tidur yang paling enak (nyenyak) bagi musafir
melebihi yang kami alami. Hingga tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas
sinar matahari. Dan orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si
fulan, lalu seseorang yang Abu 'Auf mengenalnya namun akhirnya lupa. Dan 'Umar
bin Al Khaththab adalah orang keempat saat bangun, Sedangkan Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bila tidur tidak ada yang membangunkannya hingga beliau bangun
sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika
'Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang
kesiangan) -dan 'Umar adalah seorang yang tegar penuh keshabaran-, maka ia
bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras
hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir
'Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka
alami. Maka beliau bersabda: Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah
perjalanan. Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang
tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu
berwudlu kemudian menyeru untuk shalat. Maka beliau shalat bersama orang
banyak." (Shohih Bukhori, no.344)
Namun
disunatkan untuk bergegas mengqodho' sholat yang ditinggalkan karena adanya
udzur. Sedangkan apabila sholat tersebut ditinggalkan tanpa adanya udzur maka
diwajibkan untuk segera mengqodho' sholat yang ditinggalkan menurut pendapat
yang shohih.
- Urutan qodho' sholat
Apabila
sholat yang ditinggalkan lebih dari satu, disunatkan untuk mengqodho'
sholat-sholat tersebut berurutan, sesuai dengan waktunya. Kesunatan ini
didasarkan pada hadits ;
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ
الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ،
قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ
الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ
صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ
“Dari
Jabir bin Abdillah Rodhiyallohu’anhuma, bahwasannya Umar bin Khottob Rodhiyallohu’anhu
datang pada hari peperangan Khondaq setelah matahari akan tenggelam, lalu
beliau mulai mencerca orang-orang kafir Quraisy (karena menyebabkan para
sahabat terlambat sholat ashar), beliau berkata: “Wahai Rosulullah, aku belum
melakukan sholat ashar padahal matahari hampir tenggelam.” Nabi shollallohu’alaihi
wa sallam bersabda: “Aku pun belum sholat ashar.” Maka kami bangkit menuju
lembah buthhan, lalu Nabi shollallohu’alaihi wa sallam berwudhu untuk
sholat, kami pun ikut berwudhu, lalu Rosulullah shollallohu’alaihi wa sallam
melakukan sholat ashar setelah matahari terbenam (di waktu maghrib), kemudian
setelah itu beliau sholat maghrib.” (Shohih Bukhori, no.596)
- Tata cara sholat qodho'
Cara
mengerjakan sholat qodho' itu sama dengan sholat ada' (sholat yang dikerjakan
pada waktunya) dalam semua hal, mulai dari syarat sah sampai rukun-rukunnya. Sedikit perbedaannya terletak
pada niatnya, dalam sholat qodho' disunatkan untuk mengganti kata
"ada'an" dengan kata "qodho'an". Namun, hal ini tidak
wajib, sebab dalam madzhab syafi'i tidak diwajibkan untuk menyinggung ada' atau
qodho' ketika niat, hanya saja penambahan kata "qodho'an" dianjurkan
untuk menghindari perselisihan seputar diwajibkannya penambahan tersebut.
5. Wajibkah mengqodho’ sholat bagi wanita yang mengira haid atau nifas?
Ini
adalah sebuah pertanyaan yang sangat urgen, karena tidak bisa dipungkiri bahwa dalam siklus haid yang menjadi tamu rutin seorang wanita kadang didapati sebuah keraguan bahwa dirinya
sedang haid atau tidak, hingga terkadang perkiraan bahwa dirinya haid atau
tidak terkadang meleset.
Nah,
karena ini berbicara hokum wajibkah meqodho’ sholat bagi seorang yang mengira bahwa dirinya haid,
maka terdapat dua kemungkinan, jika
perkiraannya sesuai dengan apayang terjadi (dia dalam keadaan haid atau
nifas_pent) maka sudah menjadi kewajibannya untuk meninggalkan sholat dan dia
tidak memili tanggungan sholat, tapi jika perkiraannya salah yaitu kenyataanyya
bahwa dia tidak haid maka wajib baginya untuk mengqodho’ sholat yang tertinggal
karena sholat merupakan tanggungan yang
tak bisa tergantikan kecuali di ganti dengan sholat pula. berdasarkan sabda
Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi wassalam ;
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ
كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
"Barang
siapa yang lupa mengerjakan sholat, maka hendaklah ia melaksanakannya jika
telah mengingatnya, tidak ada tebusan baginya kecuali itu." (Shohih
Bukhori, no.597 dan Shohih Muslim, no.684)
III. PENUTUP
Alhamdulillah,
berakhir pula pembahasan dalam makalah
ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sholat merupakan sebuah tanggungan
yang diemban bagi setiap muslim dan tidak bisa digantikan dengan amalan yang
lain kecuali dangan sholat itu sendiri.
Maka
dengan ini dihimbau untuk setiap muslimah untuk selalu berhati-hati dalam
menjaga sholatnya. Jangan sampai ia tertinggal karena kelalaian kita dalam
mengira diri kita sedang haid maupun nifas. Wallahu a’lam bish showab
REFERENSI:
ü Al-Qur’an dan terjemahnya
ü Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cet. Ke -2. Jakarta Balai Pustaka
ü Wahbatu Az-Zuhailli. 2007 M. Al-Fiqhul Islam wa
Adillatuh. Cet. Ke-10. Damaskus. Dar al-Fikr
ü Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim. 2006 M. Shahih
Fqih Sunnah. Jakarta. Pustaka at-Tazkia.
ü internet
Assalamualaikum..bagaimana kalau dihari ke 6 masa haid merasa bersih tetapi setelah bersuci keluar darah encer namun dihari ke 7 n 8 tidak keluar apa2,tapi di hari ke 9 keluar bercak coklat setelah itu tidak kluar apa2 lg.apakah bercak coklat itu terhitung haid?lantas gmn dgn sholat yg ditinggalkn pd tgl 7 dan 8?terima kasih
BalasHapusAssalamualaikum..bagaimana kalau dihari ke 6 masa haid merasa bersih tetapi setelah bersuci keluar darah encer namun dihari ke 7 n 8 tidak keluar apa2,tapi di hari ke 9 keluar bercak coklat setelah itu tidak kluar apa2 lg.apakah bercak coklat itu terhitung haid?lantas gmn dgn sholat yg ditinggalkn pd tgl 7 dan 8?terima kasih
BalasHapusAssalamualaikum
BalasHapusBgaimana kalau saya mengira saya haid ketika wktu shalat dzuhur,, tetapi ketika melihat kembali kondisi darah di waktu isya,sepertinya bukan haid. Bgimana cara sy mengqodho' shalat
Saya merasa meninggalkan 3 waktu shalat
Asalamualaikum
BalasHapusBagaimana jika cairan yang keluar tersebut coklat dan saya mengira ini memang haid tapi apakah ini haid
Saya juga telah meninggalkan sholat selama berhari hari karena saya kira memang haid lalu apa yang harus saya lakukan .
Trimakasih,
Assalamu'alaikum.. Ka saya mau tanya kan pas awal awal saya berhubungan intim saya keluar darah saya kira itu darah haid dan saya tidak solat selama sekitar 3 hari selama darah itu terus keluar tapi ternyata itu bukan darah haid mungkin selaput dara nya robek apakah saya diwajibkan mengqodho solat yg saya tinggalkan selama 3 hari tsb?
BalasHapusTerimakasih