I. PENDAHULUAN
Penggunaan obat-obatan yang mengandung alkohol masih
banyak diperbincangkan tentang status halal-haramnya. Hal ini dipicu oleh
anggapan bahwa alkohol diqiyaskan dengan
khamr (minuman yang memabukkan, red). Padahal, kenyataannya ada beberapa
perbedaan diantara keduanya.
Alkohol atau yang sering disebut dengan alkuhul dalam
bahasa arab, yang bentuk pluralnya adalah al-kuhulat, merupakan cairan yang
tidak berwarna yang memiliki bau khusus yang sering ditemukan dalam minuman
berakohol.[1]
Dalam dunia medis, alkohol digunakan sebagai
antiseptik. Bahkan alkohol merupakan jenis antiseptik yang cukup berpotensi.
Cara kerjanya alkohol yaitu dengan menggumpalkan protein, struktur penting sel
yang ada pada kuman, sehingga kuman mati. Begitu juga pada Povidon Iodin
(Betadine) yang kadang dicampur dengan alkohol, digunakan sebagai anti septik untuk
membersihkan kulit sebelum operasi. Selain itu, alkohol sering digunakan juga
sebagai obat kompres penurun panas atau sebagai campuran obat batuk dan lain
sebagainya.
II. PEMBAHASAN
A. Hukum Mengkonsumsi Obat yang Mengandung Alkohol
Pada dasarnya segala bentuk pengobatan dibolehkan,
kecuali jika mengandung hal-hal yang najis atau yang diharamkan syariat. Untuk
obat-obatan yang mengandung alkohol, selama kandungannya tidak banyak serta
tidak memabukkan, maka hukumnya boleh. Adapun dasar dari penetapan hukum ini
adalah sebagai berikut:
Pertama,
bahwa yang menjadi 'illah (alasan) pengharaman khamr adalah karena memabukkan.
Jika faktor ini hilang, haramnya pun hilang. Ini sesuai dengan kaidah Ushul
fiqih,
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
"Hukum itu mengikuti keberadaan 'illah
(alasannya). Jika ada 'illahnya, hukum itu ada. Jika 'illah tidak ada maka
hukumnya pun tidak ada."
Kedua,
unsur alkohol dalam obat tersebut sudah hancur menjadi satu dengan materi lain,
sehingga ciri fisiknya menjadi hilang secara nyata. Para ulama menyebutnya
dengan istilah Istihlak, yaitu bercampurnya benda najis atau yang haram
dengan benda lainnya yang suci atau halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga
menghilangkan sifat najis dan keharaman pada benda tersebut.
Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bahwa beliau bersabda,
إذَا
كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ
"Jika air telah mencapai dua kullah, maka tidak
mungkin dipengaruhi kotoran (najis)." (HR. Daruquthni, Darimi, Hakim dan
Baihaqi)
Nah, hal ini sama seperti setetes air kencing yang tercampur
dengan air yang sangat banyak, air itu tetap suci dan menyucikan selama tidak
ada pengaruh dari air kencing tersebut.
Ketiga,
dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda,
مَا
أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ
"Sesuatu yang apabila banyaknya memabukkan, maka
meminum meski sedikit darinya teap dinilai haram." (Hadits Shahih Riwayat
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Maksud dari hadits tersebut adalah apabila sesuatu
yang jika diminum dalam jumlah banyak bisa memabukkan, maka sesuatu tersebut haram
walaupun dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Seperti khamr jika diminum dalam
jumlah yang banyak akan memabukkan, maka setetes khamr murni (tanpa campuran)
diharamkan untuk diminum, walaupun jumlahnya sedikit dan tidak memabukkan.
Lain halnya dengan air dalam satu bejana dan diberi
setetes khamr yang tidak mempengaruhi air tersebut, baik dari segi warna, rasa,
maupun sifat, dan dia tidak memabukkan, maka minum air yang ada campuran
setetes khamr itu dibolehkan.
Adapun perbedaan antara keduanya: Setetes khamr yang
pertama dihukumi haram karena murni khamr. Dan jika seseorang mengonsumsi
setetes khamr tersebut dikatakan dia minum khamr. Nah, adapun setetes khamr
kedua dihukumi tidak haram, karena sudah dicampur dengan zat lain yang suci dan
halal. Dan seseorang jika meminum air dalam bejana yang ada campuran setetes
khamr, akan tetap dikatakan dia meminum air dari bejana dan tidak dikatakan dia
minum khamr dari bejana. Dan hukum ini berlaku bagi obat yang ada campuran
dengan alkohol.
Keempat,
bahwa alkohol tidaklah identik dengan khamr karena tidak setiap khamr itu alkohol
begitu juga sebaliknya tidak setiap alkohol itu khamr. Menurut sebagian
kalangan bahwa jenis alkohol yang bisa memabukkan adalah jenis etil atau
etanol. Begitu juga khamr yang diharamkan pada zaman Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam bukanlah alkohol, tapi jenis lain.
Kelima,
menurut sebagian ulama bahwa khamr tidaklah najis secara lahir, tapi najis
secara maknawi. Artinya, bukanlah
termasuk benda najis seperti benda-benda lainnya secara umum. Sehingga alkohol
boleh dipakai untuk pengobatan luar.
Keenam,
suatu minuman atau makanan dikatakan memabukkan jika memenuhi dua kriteria:
- minuman atau makanan tersebut dapat menghilangkan atau menutupi akal bagi orang yang mengkonsumsinya.
- Seorang yang meminum atau memakannya merasakan 'nikmat' ketika mengonsumsi makanan atau minuman tersebu tdan akan membuatnya fly yaitu merasakan senang dan gembira yang tiada taranya seakan-akan dia sedang terbang jauh keluar angkasa serta tidak terkontrol. Sering kita dapatkan orang yang ketika mabuk berbicara tidak karuan, dia sendiri tidak menyadari apa yang dikatakan.
Adapun obat bius tidaklah demikian, karena yang
memakainya tidaklah menikmatinya dan tidak merasakan senang dengan obat bius
tersebut. Karena obat bius ini menjadikan orang tersebut tidak sadar alias
pingsan. Berbeda denga khamr yang memabukkan tidaklah menjadikannya pingsan
tapi justru memberian sensasi dan kenikmatan bagi orang yang mengkonsumsinya,
sehingga membuatnya terus ketagihan terhadap minuman tersebut.[2]
III. PENUTUP
Dari pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa
alkohol yang digunakan untuk obat-obatan jika dipakai untuk obat luar, maka
hukumnya boleh selama hal itu membawa manfaat bagi yang berobat, dan menurut
pendapat sebagian ulama bahwa alkohol tidaklah najis.
Adapun jika dipakai untuk obat dalam dan dikonsumsi
(dimakan atau diminum), maka hukumnya dirinci terlebih dahulu: Jika obat
tersebut diminum dalam jumlah yang banyak akan memabukkan, maka hukumnya haram
mengonsumsi obat yang mengandung alkohol tersebut. Tetapi jika tidak
memabukkan, maka hukumnya boleh.
Walaupun demikian tetap dianjurkan kepada setiap
muslim untuk menghindari obat-obatan yang beralkohol, sebagai saddu dzari’ah karena
dapat berpengaruh buruk untuk kesehatan. Wallahu A'lam bish showab.
REFERENSI:
- Muhammad Ansharullah. Berakohol Tapi Halal. Solo. Cet 2011
- Syaikh Utsaimin, Syarh Bulughul Maram. Kairo. Dar Ibnu al Jauzi. 2008
Alhamdulillah, terimakasih infonya. Sangat membantu.
BalasHapusTapi apakah semua obat yang mengandung etil atau etanol itu haram?