Minggu, 08 Desember 2013

HUKUM DARAH YANG KELUAR SAAT BERSALIN MENURUT TINJAUAN FIQIH DAN MEDIS



    
   
I.           
PENDAHULUAN

Waktu persalinan adalah salah satu momen paling mendebarkan bagi seorang wanita. Karena momen ini merupakan bagian dari jihad teragung kaum wanita. Di mana seorang wanita yang meninggal saat melahirkan bahkan termasuk golongan manusia yang mati syahid (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Setelah momen ini, seorang wanita akan memulai lembaran baru dikehidupannya menjadi seorang ibu yang mempunyai kewajiban mendidik buah hatinya. Dan sebaik-baik pendidikan untuk anak adalah dengan pendidikan agama.
Ternyata, momen penting ini pun tak lepas dari perhatian syariat karena pada saat persalinan seorang wanita akan mengeluarkan darah nifas. Sebagaimana haid dan istihadhah, darah nifas termasuk jenis darah yang biasa terjadi pada wanita. Oleh karena itu, penting bagi kita hendaknya mengetahui hukum-hukum seputar darah yang keluar ketika bersalin (nifas).

A.      Pengertian Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita bersamaan dengan proses persalinan atau dihari – hari sesudahnya.  Jika keluarnya sebelum proses persalinan, maka darah tersebut bukanlah darah nifas, melainkan darah istihadhah[1]. Yang demikian ini merupakan kesimpulan dalam madzhab Maliki.
Menurut madzhab Hambali, nifas adalah darah yang keluar lantaran proses persalinan, termasuk juga darah yang keluar 2 atau 3 hari sebelum persalinan yang disertai adanya sakit hendak melahirkan.
Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i, nifas adalah yang keluar sesudah proses persalinan, sehingga darah yang keluar persamaan dengan proses persalinan atau sebelumnya tidak dikategorikan darah nifas.
Adapun menurut pakar medis, nifas adalah masa-masa seusai proses persalinan dimana rahim dan alat reproduksi  wanita secara bertahab mengalami pemulihan ke keadaan alamiahnya seperti keadaannya semula disaat sebelum terjadinya kehamilan.
Terdapat perbedaan yang mencolok mengenai definisi nifas antara defenisi yang diberikan oleh beberapa fuqoha’ dan para pakar medis.nampaknya  perbedaan ini bermula dari sisi pandang yang saling berbeda antara  pihak satu dengan yang lain; sebab masing- masing dari keduanya sama-sama memiliki poin perhatian yang tidak dimiliki oleh pihak lainnya dan apa yang di maui oleh pihak satu dengan yang dengan yang lain ternyata tidak sama Dan ini berjalan sesuai dengan kepentingan yang dituntut  dari masing-masing kedua belah pihak.
Para fuqoha’ mengaitkan nifas dengan darah dan sejumlahnya sekresi yang ada hubungannya dengan hukum fiqih dalam masalah ibadah dan mu’amalah. Sementara para pakar medis mengaitkan nifas dengan kondisi kesehatan dan fisiologi rahim wanita dan alat reproduksinnya secara umum. Dampak positif dari keduanya sama-sama memberikan indikasi penting jika kondisi orang yang nifas mengalami suatu yang sampai pada tingkat membahayakan, lebih-lebih jika sampai terjadi demam tinggi pasca persalinan atau terjadi pendarahan yang hebat.
Dengan demikian, perbedaan defenisi nifas antara antara fuqoha’ dan pakar medis adalah perbedaan sudut pandang yang berawal dari perbedaan dalam hal menentukan batasan-batasan memilih hujjah, atau memberi defenisi.
 Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalanginya dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Perlu diketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari yaitu 3 bulan.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban.” (kitab Syarhul Iqna’)
Secara ringkas dapat disimpulkan beberapa hal untuk mengenali darah nifas:
  1. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik sebelum, bersamaan atau sesudah melahirkan.
  2. Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti rasa sakit, dll) yang diikuti dengan proses kelahiran.
  3. Bayi yang dilahirkan/ dikeluarkan sudah berbentuk manusia (terdapat kepala, badan dan anggota tubuh lain seperti tangan dan kaki, meskipun belum sempurna benar).

B.      Lamanya Masa Nifas

Darah nifas  akan terus menerus keluar dalam rentang waktu antara 3 hingga 4 minggu, namun ada juga yang berlansung hingga 40 hari atau lebih. Adapun pada umumnya,rata-rata selama 5 hari terjadi dan lamanya nifas ini akan semakin bertambah jika sang ibu tidak menyusui ASI terhadap bayinya.
Mazdhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa kebanyakan lamanya masa nifas itu 60 hari. Mazdhab Hanafi berpendapat bahwa kebanyakan lamanya masa nifas itu 40 hari.
Adapun mengenai batasan  minimalnya, semua fuqoha’ selain madzhab syafi’i sendiri berpendapat bahwa batasan minimalnya adalah dalam waktu yang sebentar.
Menurut pendapat yang rajih, tidak ada batasan minimal lamanya masa nifas, sehingga bisa saja jika terjadinya nifas dalam waktu yang sesaat atau sebentar. Selanjutnya jika darah telah berhenti dan tidak mengalir lagi, atau seorang wanita menjalani proses persalinan tanpa mengeluarkan darah[2], maka hukum yang berlaku atasnya adalah hukum suci sehingga dia berkewajiban  menjalankan shalat, puasa, dan ibadah lainnya.
Begitu pula mengenai maksimalnya, juga tidak ada batasannya menurut pendapat yang sahih; sebab tidak ada nash al-Qur’an maupun sunnah yang menjelaskannya. Semua Hadits utama yang  dijadikan sandaran dalam hal ini pun juga berpredikat dha’if, yakni yang diriwayatkan dari Mussah  Al- azdiyyah dari   Ummu Salamah yang berkata:
كَانَتِ النُّفَسَاءُتَجْلِسُ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وسلم أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
“Adalah para wanita nifas di zaman Rasulullah tidak mengerjakan sholat selama 40 hari.” (HR. Lima Ahli  Hadits kecuali Nasa’i)
Dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi bernama Mussah  Al- azdiyyah, seorang yang dinilai berprediket majhulatul hal, tidak dikenal, dan hadits yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan sebagai  hujjah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh para pengkritik  hadits yang tsiqah (terpercaya). Dan sekiranya penilaian keshahihan hadits ini mengharuskan kami untuk berdiskusi, maka kemungkinan jawabannya adalah dari berbagai segi:
Pertama, isi hadits ini dibawa kepada makna yang sesuai dengan kejadian pada umumnya.
Kedua, isi hadits ini hanya berlaku untuk sejumlah kaum wanita secara khusus. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan :
كَانَتِ المَرْأة مِنْ نِسَاءِ النَّبي صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وسلم تَقْعُدُ في النفاس أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
 “ Adalah  salah seorang dari istri-istri Nabi shalallohu ‘alaihi wassalam duduk  (tidak mengerjakan sholat dan ibadah lain yang kedudukan hukumnya sama) selama 40 malam.”
                Hanya saja telah diketahui  bahwa matan riwayat ini berpredikat mungkar; sebab diantara istri-istri Nabi shalallohu ‘alaihi wassalam itu tidak ada seorangpun yang mengalami nifas  disaat menjadi istri beliau selain khodijah, sementara pernikahan beliau dengannya berakhir sebelumhijrah. Dengan demikian, ucapan Ummu salamah diatas  tidak memiliki faedah _meski sahih_ yang menyatakan bahwa salah seorang istri Nabi mengalami nifas selama 40 hari.
                Ketiga, hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil’ sebab telah menafikan masa nifas lebih dari 40 hari; sedang hadits tersebut hanya ditetapkan adanya 40 hari.
                Dengan demikian, maka yang mu’tamad (bisa dijadikan sandaran atau patokan) dalam hal lamanya masa nifas adalah apa yang sesuai dengan relita, dimana lamanya masa nifas itu bisa sebentar dan bisa lama. Karenanya, kapan saja darah nifasnya terhenti dan tidak mengalir lagi maka ketika itulah   wanita yang bersangkutan kembali terbebani kewajiban sebagaimana wanita-wanita suci lainnya, seperti kewajiban sholat, puasa, dan yang lainnya. Dan kapan saja darahnya masih mengalir dan belum berhenti, maka ketentuan yang berlaku atasnya sebagaimana ketentuan yang berlaku atas wanita yang sedang mengalami haid atau nifas. Sebab yang namanya hukum (ketentuan) itu berlaku sesuai illatnya (dalam hal ini illatnya adalah darah nifas)  baik keberadaannya  maupun ketidak beradaannya. Artinya, jika illatnya ada maka hukumnya ada ( berlaku) dan jika illatnya tidak ada maka hukumnya tidak berlaku[3].

C.       Masa Nifas  Menurut Ilmu Kedokteran

Masa nifas (puererium) adalah masa pulih kembali, mulai daripersalinan selesai sampaialat-alat kandungan  kembali seperti pra kehamilan. Nifas adalah masa pembersihan rahim, ketika jaringan sisa-sisa plasenta dan dinding rahim dikeluarkan oleh tubuh.
Masyarakat Indonesia mengartikan masa nifas merupakan periode waktusejak selesai persalinan sampai 40 hari setelah itu.menurut  Bobak et.al (2005) peride paska partum adalah masa enamminggu sejak bayi sampai orrgan-organ reproduksi kembali kekeadaan normal sebelum hamil.
Menurut dr. Muhammad Taufik CH, Sp.OG dari rumah bersalin putra delima, Bumi Serpong Damai, Tangerang, secara umum keluarnya darah nifas dapat terjadi dalam empat tahap, yaitu:
1.       Lokia rubra (merah), seminggu pertama masa nifas, darah yang keluar biasanya berupa darah segar merah bersamaan dengan jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi, lanugo (rambut bayi), dan mekonium9kotoran bayi saat dalam kandungan). Lokia rubra mengandung banyakkuman.
2.       Lokia sanguelenta, satu sampai duaminggu berikutnya, darah yang keluar berwarna merah dan berlendir.
3.       Lokia serosa, duaminggu beikutnya. Cairan yang keluar berwarna kekuningan. Kandungannya berupa jaringan serosa atau sisa-sisa pengruh hormondan lainnya.
4.       Lokia alba, yaitu cairan yang keluar berwarna putih bisa dan bening.ininormal dan tandanya sudah memasuki  tahap pemulihan.
Keempat tahap tersebut memakan waktu berkisar 6 minggu. Kecuali bila terjadi infeksi[4].
Dengan keluarnya janin dan plasenta, maka rahim yang sebelumnya membesar karena hamil akan mengalami pemulihan agar dapat kembali ke fungsinya dan bentuk semula seperti sebelum hamil. Proses pemulihan rahim ini dinamakan involusi. Saat proses pemulihan, tempat plasenta pada permukaan dinding endometrim rahim mengalami pelarutan dan pelepasan (autolisis). Adanya pelarutan danpelepasan dinding endometrium yang sudah tidak terpakai, dimana ini harus dikeluarkan dai rahi akan disertai keluarnya cairan dan darah dari vagina.darah inilah yang disebt dengan lokia atau darah nifas. 
Namun proses persalinan sekarang memungkinkan tanpa adanya darah nifas yang menyertainya. Persalinan tersebut yaitu persalinan melalui operasi caesar. Cara kerja operasi tersebut yaitu dengan alat yang berfungsi untuk mengeluarkan  janjin dari rahimmelalui pembedahan didalam. Kemudian di dalam rahim itu dibersihkan ole dokterspesialis bedah dari semua radang, selaput janin dan yang lain-lainnya. Selain itu efek dari operasi ini dinetralisir dengan menyuntikkan sejumlah obat dalam urat atau disekitar otot-otot rahim. Dengan terapi ini darah akan tercegah dan tidak banyakyang keluar karenaorgan reproduksi menjadi kering. Terkadang dalam beberapa kondisi, pembedahan rahim  ditempuh setelah melahirkan. hal ini bertujuan untuk mencegah kehamilan dalam waktu temporal.

     II.            PENUTUP

Maha suci Alloh dengan segala kuasa dan kesempurnaanya yang telah menciptakan wanita dengan dengan segala keunikan dan keistimewaannya yaitu dengan mengatur segala sistem kerja yang begitu sempurna dalam organ reproduksi wanita. Dengan segala kesempurnaanya Alloh memberi masa pemulihan bagi wanita setelah melahirkan yaitu dengan keluarnya darah pasca melahirkan hingga 40 sampai dengan  60 hari kedepan. Nah,  setelah dari beberapa penjabaran diatas dalammakalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa darah yang keluar saat melahirkan adalah darah nifas baik itu ditinjau dari segi medis maupun  syar’i tiada perbedaan diantara keduanya.  Wallohu A’lam bish showab

Referensi:

  • Wahbatu Az-Zuhailli. 2007 M. Al-Fiqhul Islam wa Adillatuh. Cet. Ke-10. Damaskus. Dar al-Fikr
  • http://muslimah.or.id/fikih/hukum-seputar-darah-wanita-darah-nifas.html
  • Ainun Millah. 2013 M. Darah Kebiasaan Wanita. Cet I. Solo. PT Aqwam Media Profetika
  • Muhammad bin ‘abdurrahman ad-dimasyqi. Cet 14. Bandung. Hasyimi
  • Sayyid sabiq. 2012. Fiqih sunnah. Cet 3 Jakarta. Cakrawala
  • DR. Muhammad Utsman Al- Khasyt. 2012. Fiqih Wanita Empat Madzhab. Cet 1. Khazanah Intelektual


[1] Mughnil Muhtaj I hlm. 119;al- Bada’I I hlm. 352
[2] Seperti seorang wanita yang menjalani persalinan yang pernah terjadi dimasa Rasulullah shalallohu ‘alaihi wassalam dimana wanita tersebut tidak mengeluarkan darah. sehingga karenanya, dia lalu dijuluki dengan “ dzatul jufuuf”.
[3] Al-muhallah II hlm.203.Ibnu hazm
[4] Muwahhidah Syarifah. Risalah Ilmiyah. Hukum Darah Nifas Menurut Madzhab Hambali. p.27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar