I. PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai
penetapan hukum dibeberapa masalah fiqih, telah terjadi di kalangan para
sahabat Nabi Shalallohu ‘Alaihi Wasalam ketika beliau masih berada
dikalangan para sahabat. Tetapi perbedaan pendapat tersebut dapat segera
dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi
Wasalam. Tapi setelah beliau wafat, maka sering timbul perbedaan
pendapat dikalangan para sahabat dalam menetapkan hukum masalah tertentu, misalnya
sahabat Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, jika
mereka mewarisi bersama-sama dengan kakek si mayat, karena kakek diqiyaskan
seperti ayah, di mana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalangi)
kewarisan para saudara, sedang Umar bin Khatab memberikan warisan dari si mayat
kepada para saudara tersebut, karena kakek tidak termasuk dalam kata-kata “ayah”
yang dinyatakan dalam nash.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tidaklah sebanyak permasalahan
yang timbul pada generasi-generasi berikutnya. Disamping itu, perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in serta para ulama
mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong kedalam dasar-dasar agama dan
nash-nash yang qath’i[1].
A. PENGERTIAN IKHTILAF
Ikhtilaf
adalah lawan dari ittifaq (kesepakatan). Secara etimologis fiqhiyah, ikhtilaf di ambil dari
bahasa Arab yang berarti berselisih, sedangkan secara terminologis fiqhiyah, ikhtilaf
adalah perbedaan paham
atau pendapat di kalangan para ulama’ fiqh sebagai hasil ijtihad untuk
mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu[2]
Ikhtilaf bagi para ulama juga
dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu “perbedaan”. Sebagian ulama
membedakan antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus. Dan
yang menjadi catatan penting bahwa ikhtilaf dalam bahasa fiqih bukan diartikan
berlawanan atau pertentangan tetapi perbedaan pendapat. Dengan demikian
ikhtilaf merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber
hukum islam.
B. PEMBAGIAN IKHTILAF
Al-Ikhtilaf
terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf Mahmud (terpuji) dan ikhtilaf madzmum
(tercela). Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang
berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adab-adabnya,
bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru.
Dari Amr bin Ash Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam
bersabda :
“Jika seorang hakim menghukumi
(suatu urusan) kemudian dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan
jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala ”
… (HR. Bukhori dan Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji adalah yang
terjadi di antara para sahabat dalam masalah cabang-cabang fiqh. Seperti : hak
waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam satu waktu, di beberapa
masalah riba, dan lain sebagainya. Begitu pula perbedaan yang ada di antara
imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbedaan
yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat
manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf mahmudz (tercela)
adalah hasil dari ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran,
tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian
mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final
dan qoth’i hukumnya. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru yang palsu
untuk menguatkan pendapatnya.
Ikhtilaf mahmudz sering terjadi di
faham-faham tertentu seperti : Syi’ah, khowariz, mu’tazilah dan sebagainya.
Inilah bentuk ikhtilaf yang diisyaratkan dalam sebuah hadits dari Anas bin
Malik, Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Dan sesungguhnya umatku akan
terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja
yaitu al-jamaah “ … ( HR. Ibnu Majah)
II. PEMBAHASAN
A. Sebab dan AkibatTerjadinya Ikhtilaf Dikalangan Ulama’
Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam
ijtihadnya para ulama’ mujtahid dan diantara faktor-faktor umum yang
menyebabkan timbulnya ikhtilaf ialah;
Pertama : Perbedaan para Ulama terhadap pemahaman dan
penafsiran pada sebahagian nash-nash hukum pada sudut lafaz dan makna. Sebagai
contoh, firman Allah Ta’ala;
….الْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ
قُرُوءٍ …
“Dan
isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka
(dari pernikahan) selama 3 kali suci…” (al Baqarah 2:228)
Para
Ulama berikhtilaf pada ayat Quru’, pakah ia bermakna tiga kali haid
atau tiga kali suci.
Dalam mengeluarkan hukum ayat di atas, para imam
mazhab berbeda dalam memahaminya. Imam
Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkataan quru’ mewakili jangka
waktu bersih dari haid, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat itu adalah
mewakili jangka waktu seseorang berada dalam haid. Pendapat Imam Ahmad yang
pertama mengatakan quru’ adalah masa suci kemudian dalam pendapat beliau
yang kedua mengatakan bahwa quru’ merupakan masa dalam keadaan haid.
Kedua : Perbedaan para Ulama terhadap kualitas
kedudukan dan banyaknya sumber-sumber dalil yang mereka temui. Hal ini terjadi
karena, hadits-hadits pada zaman imam mazhab masih belum dapat dihimpunkan
secara sistematik. Para imam mazhab terpaksa mencarinya sendiri dengan
berhijrah ke berbagai tempat atau bertanya kepada yang lain. Imam Syafi’i Rahimahullah pernah berpesan
kepada muridnya, Ahmad bin Hambali: “Engkau lebih mengetahui akan
hadits-hadits daripada diriku. Oleh karena itu jika ada hadits yang sahih
beritahulah aku meski hadits tersebut dari Kufah, Basrah atau Syria. Beritahulah
aku supaya aku dapat berpegang kepadanya”.
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ;
ليس أحد من الأئمة المقبولين عند الأمة قبولا عاما –
يعتمد مخالفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فى شئ من سنته دقيق ولا جليل. فإنهم
متفقون اتفاقا يقينيا على وجوب اتباع الرسول صلى الله عليه وسلم وعلى أن كل أحد من
الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم . ولكن إذا وجد لواحد
منهم قول قد جاء حديث صحيح بخلافه فلابد له من عذر فى تركه…
“Tidak
seorangpun imam akan diterima seluruh pendapatnya dikalangan umat –berbeda yang
terjadi pada sandaran mereka terhadap sunnah-sunnah Nabi Shalallohu ‘Alaihi
Wasalam pada perkara kecil atau besar-- Mereka semua bersepakat dan yakin atas
kewajiban mentaati Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam. Dan sesungguhnya
perkataan setiap orang itu boleh diambil dan boleh ditolak kecuali perkataan nabi Muhammad Shalallohu ‘Alaihi Wasalam.
Tetapi jika ada orang yang berpendapat dan pendapatnya itu menyelisihihadits
shohih, maka diwajibkan atasnya untuk meninggalkan pendapatnya.
Ketiga : Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i
yang masih umum yaitu masih bersifat dzonni. Jadi meskipun suatu dalil telah
disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja
terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan
para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam
melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain
yang terkait.
keumuman maksud nash-nash al-Quran
dan Sunnah yang dijadikan sebagai hujjah yang terkandung di dalamnya kata-kata
majaz dan hakikat yang menyebabkan banyak penafsiran ulama’ dalam mentarjihkan
maksud perkataan-perkataan tersebut dan dalam kaedah ushul fiqh, perkara ini
digelar sebagai lafaz hakiki dan lafaz majazi (kiasan). Sebagai contohnya pada
firman Allah Taala;
….أَوْ لمَسْتُمُ النِّسَآءَ …
“…..Atau
kamu sentuh perempuan….”(al Maidah:6:6)
Apakah yang dimaksudkan didalam ayat ini hanya sekadar bersentuhan saja
seperti pandangan Ibnu Umar atau kiasan bagi persetubuhan seperti pendapat Ibnu
Abbas?!
Keempat : Perbedaan pendapat dibeberapa kaidah ushul
fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i dalam permasalahan yang tidak ada
nash-nya dan memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas,
istihsan, mashlahah mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan
berbagai wujud pandangan fuqaha’ yang mutasyaddid (terlalu berhati-hati) dan
ada yang mutarakhis (memudahkan). Seperti contoh pada pandangan Ibnu Umar
ketika berwudhu’, beliau akan memasukkan air ke matanya sehingga menyebabkan
beliau buta dan menurut Ibnu Abbas pula tidak merasakan perkara itu perlu
dilakukan.
Kelima: Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita
kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh
karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang
hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat
dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa
masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim
(pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid
(pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula
dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat
yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu
Adanya
ikhtilaf ini berdampak pada perbedaan istinbath dan ijtihad hukum yang
ditetapkan
oleh para sahabat, para ulama’ serta generasi setelahnya hingga saat
ini. Sehingga di dapati ada beberapa ulama yang sering berbeda pendapat dalam
memberikan fatwa, namun perbedaan pendapat ini tidak menjadikan para ulama’
tersebut berselisih dan bermusuhan, berbeda dengan para pengikutnya yang
cenderung fanatik akan madzhab yang dipilihnya hingga terkadang
menimbulkan perselisihan dan perdebatan.
III. PENUTUP
Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dikalangan para ulama’
baik sebab itu muncul dari internal maupun eksternal yang pada akhirnya
berdampak pada perbedaan istinbath dan ijtihad yang diambil antara para ulama, tapi semua itu bukanlah suatu hal yang
tercela karena setiap insan tercipta dengan keistimewaan masing-masing begitu
pula para ulama memiliki tingkatan pemahaman masing-masing dalam keilmuannya
hanya saja kita sebagai pengikut janganlah menjadi seorang yang sangat fanatik
akan pilihan kita yang alhirnya terkadang bisa menimbulkan perselisihan yang
tak berujung.
Nah, dengan kita mengetahui sebab-musabab yang memicu perbedaan pendapat
dikalangan ulama yang mengakibatkanperbedaan istinbatul ahkam menjadikan kita
lebih tenag dalam mengamalkan hokum yang ada dan jua bisa menerima perbedaan
yang berada disekitar kita. Allohumusta’an
REFERENSI :
ü Makalah fiqih muqoron
ü Asbab ikhtilaful fuqoha’, ‘ali khofif
ü http://almanhaj.or.id/content/79/slash/0/nasehat-dalam-menghadapi-ikhtilaf-di-antara-ikhwah-salafiyyin/
ü http://assamarindy.wordpress.com/2012/11/27/perkara-perkara-yang-menjadi-sebab-ikhtilaf-perbedaan-ulama-dalam-masalah-fiqih/
ü http://syariahislamonline.blogspot.com/2011/09/sebab-sebab-ikhtilaf-dalam-fiqih.html
ü http://saputra51.wordpress.com/2013/01/05/10-faedah-tentang-ikhtilaf/
ü http://ulieljamiel.wordpress.com/2013/04/09/ikhtilaf-ijtihad-menuju-perkembangan-fiqih/
ü http://syariahislamonline.blogspot.com/2011/09/sebab-sebab-ikhtilaf-dalam-fiqih.html
ü http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/12/Mengenal-Perkembangan-Mazhab-Fiqih-dalam-Islam.html
ü http://www.slideshare.net/novajiowdennis/periodeisasi-fiqhppt-newpptb
ü http://hanafiyesss.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqh.html
ü http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id/volumeviii1/volume-viii-2/menelusuri-historisitas-pembentukan-hukum-islam-menggagas-yurisprudensi-islam-indonesia.html
ü http://www.himmahsalaf.org/2013/01/kesalahfahaman-wahabi-dalam-memaknai.html
ü http://www.dieza.web.id/2011/01/perbandingan-mazhab.html
SIP
BalasHapus