Rabu, 30 Oktober 2013

IKHTILAF DIKALANGAN ULAMA’, SEBAB, AKIBAT DAN PENGARUHNYA DALAM PERKEMBANGAN FIQIH


       I.            PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum dibeberapa masalah fiqih, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi Shalallohu ‘Alaihi Wasalam ketika beliau masih berada dikalangan para sahabat. Tetapi perbedaan pendapat tersebut dapat segera dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam. Tapi setelah beliau wafat, maka sering timbul perbedaan pendapat dikalangan para sahabat dalam menetapkan hukum masalah tertentu, misalnya sahabat Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, jika mereka mewarisi bersama-sama dengan kakek si mayat, karena kakek diqiyaskan seperti ayah, di mana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalangi) kewarisan para saudara, sedang Umar bin Khatab memberikan warisan dari si mayat kepada para saudara tersebut, karena kakek tidak termasuk dalam kata-kata “ayah” yang dinyatakan dalam nash.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tidaklah sebanyak permasalahan yang timbul pada generasi-generasi berikutnya. Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in serta para ulama mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong kedalam dasar-dasar agama dan nash-nash yang qath’i[1].

A.     PENGERTIAN IKHTILAF

Ikhtilaf adalah lawan dari ittifaq (kesepakatan). Secara etimologis fiqhiyah, ikhtilaf di ambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih, sedangkan secara terminologis fiqhiyah, ikhtilaf adalah perbedaan paham atau pendapat di kalangan para ulama’ fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu[2]
Ikhtilaf bagi para ulama juga dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu “perbedaan”. Sebagian ulama membedakan antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus. Dan yang menjadi catatan penting bahwa ikhtilaf dalam bahasa fiqih bukan diartikan berlawanan atau pertentangan tetapi perbedaan pendapat. Dengan demikian ikhtilaf merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.

B.     PEMBAGIAN IKHTILAF

Al-Ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf Mahmud (terpuji) dan ikhtilaf madzmum (tercela). Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adab-adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru.
Dari Amr bin Ash Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala ” … (HR. Bukhori dan Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji adalah yang terjadi di antara para sahabat dalam masalah cabang-cabang fiqh. Seperti : hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam satu waktu, di beberapa masalah riba, dan lain sebagainya. Begitu pula perbedaan yang ada di antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf mahmudz (tercela) adalah hasil dari ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya sudah final dan qoth’i hukumnya. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru yang palsu untuk menguatkan pendapatnya.
Ikhtilaf mahmudz sering terjadi di faham-faham tertentu seperti : Syi’ah, khowariz, mu’tazilah dan sebagainya. Inilah bentuk ikhtilaf yang diisyaratkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja yaitu al-jamaah “ … ( HR. Ibnu Majah)

    II.            PEMBAHASAN

A.     Sebab dan AkibatTerjadinya Ikhtilaf Dikalangan Ulama’

Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam ijtihadnya para ulama’ mujtahid dan diantara faktor-faktor umum yang menyebabkan timbulnya ikhtilaf ialah;
Pertama : Perbedaan para Ulama terhadap pemahaman dan penafsiran pada sebahagian nash-nash hukum pada sudut lafaz dan makna. Sebagai contoh, firman Allah Ta’ala;
….الْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (dari pernikahan) selama 3 kali suci…” (al Baqarah 2:228)
Para Ulama berikhtilaf pada ayat Quru’, pakah ia bermakna tiga kali haid atau tiga kali suci.
Dalam mengeluarkan hukum ayat di atas, para imam mazhab berbeda dalam memahaminya.  Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkataan quru’ mewakili jangka waktu bersih dari haid, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat itu adalah mewakili jangka waktu seseorang berada dalam haid. Pendapat Imam Ahmad yang pertama mengatakan quru’ adalah masa suci kemudian dalam pendapat beliau yang kedua mengatakan bahwa quru’ merupakan masa dalam keadaan haid.
Kedua : Perbedaan para Ulama terhadap kualitas kedudukan dan banyaknya sumber-sumber dalil yang mereka temui. Hal ini terjadi karena, hadits-hadits pada zaman imam mazhab masih belum dapat dihimpunkan secara sistematik. Para imam mazhab terpaksa mencarinya sendiri dengan berhijrah ke berbagai tempat atau bertanya kepada yang lain.  Imam Syafi’i Rahimahullah pernah berpesan kepada muridnya, Ahmad bin Hambali: “Engkau lebih mengetahui akan hadits-hadits daripada diriku. Oleh karena itu jika ada hadits yang sahih beritahulah aku meski hadits tersebut dari Kufah, Basrah atau Syria. Beritahulah aku supaya aku dapat berpegang kepadanya”.
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ;
ليس أحد من الأئمة المقبولين عند الأمة قبولا عاما – يعتمد مخالفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فى شئ من سنته دقيق ولا جليل. فإنهم متفقون اتفاقا يقينيا على وجوب اتباع الرسول صلى الله عليه وسلم وعلى أن كل أحد من الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم . ولكن إذا وجد لواحد منهم قول قد جاء حديث صحيح بخلافه فلابد له من عذر فى تركه
Tidak seorangpun imam akan diterima seluruh pendapatnya dikalangan umat –berbeda yang terjadi pada sandaran mereka terhadap sunnah-sunnah Nabi Shalallohu ‘Alaihi Wasalam pada perkara kecil atau besar-- Mereka semua bersepakat dan yakin atas kewajiban mentaati Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasalam. Dan sesungguhnya perkataan setiap orang itu boleh diambil dan boleh ditolak kecuali perkataan  nabi Muhammad Shalallohu ‘Alaihi Wasalam. Tetapi jika ada orang yang berpendapat dan pendapatnya itu menyelisihihadits shohih, maka diwajibkan atasnya untuk meninggalkan pendapatnya.
Ketiga : Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i yang masih umum yaitu masih bersifat dzonni. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
 keumuman maksud nash-nash al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sebagai hujjah yang terkandung di dalamnya kata-kata majaz dan hakikat yang menyebabkan banyak penafsiran ulama’ dalam mentarjihkan maksud perkataan-perkataan tersebut dan dalam kaedah ushul fiqh, perkara ini digelar sebagai lafaz hakiki dan lafaz majazi (kiasan). Sebagai contohnya pada firman Allah Taala;
….أَوْ لمَسْتُمُ النِّسَآءَ
“…..Atau kamu sentuh perempuan….”(al Maidah:6:6)
Apakah yang dimaksudkan didalam ayat ini hanya sekadar bersentuhan saja seperti pandangan Ibnu Umar atau kiasan bagi persetubuhan seperti pendapat Ibnu Abbas?!
Keempat : Perbedaan pendapat dibeberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i dalam permasalahan yang tidak ada nash-nya dan memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan berbagai wujud pandangan fuqaha’ yang mutasyaddid (terlalu berhati-hati) dan ada yang mutarakhis (memudahkan). Seperti contoh pada pandangan Ibnu Umar ketika berwudhu’, beliau akan memasukkan air ke matanya sehingga menyebabkan beliau buta dan menurut Ibnu Abbas pula tidak merasakan perkara itu perlu dilakukan.
Kelima: Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu
Adanya ikhtilaf ini berdampak pada perbedaan istinbath dan ijtihad hukum yang ditetapkan oleh para sahabat, para ulama’ serta generasi setelahnya hingga saat ini. Sehingga di dapati ada beberapa ulama yang sering berbeda pendapat dalam memberikan fatwa, namun perbedaan pendapat ini tidak menjadikan para ulama’ tersebut berselisih dan bermusuhan, berbeda dengan para pengikutnya yang cenderung fanatik akan madzhab yang dipilihnya hingga terkadang menimbulkan perselisihan dan perdebatan.

 III.            PENUTUP

Banyak sebab yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dikalangan para ulama’ baik sebab itu muncul dari internal maupun eksternal yang pada akhirnya berdampak pada perbedaan istinbath dan ijtihad yang diambil antara para  ulama, tapi semua itu bukanlah suatu hal yang tercela karena setiap insan tercipta dengan keistimewaan masing-masing begitu pula para ulama memiliki tingkatan pemahaman masing-masing dalam keilmuannya hanya saja kita sebagai pengikut janganlah menjadi seorang yang sangat fanatik akan pilihan kita yang alhirnya terkadang bisa menimbulkan perselisihan yang tak berujung.
Nah, dengan kita mengetahui sebab-musabab yang memicu perbedaan pendapat dikalangan ulama yang mengakibatkanperbedaan istinbatul ahkam menjadikan kita lebih tenag dalam mengamalkan hokum yang ada dan jua bisa menerima perbedaan yang berada disekitar kita. Allohumusta’an
REFERENSI :
ü  Makalah fiqih muqoron
ü  Asbab ikhtilaful fuqoha’, ‘ali khofif
ü  http://almanhaj.or.id/content/79/slash/0/nasehat-dalam-menghadapi-ikhtilaf-di-antara-ikhwah-salafiyyin/
ü  http://assamarindy.wordpress.com/2012/11/27/perkara-perkara-yang-menjadi-sebab-ikhtilaf-perbedaan-ulama-dalam-masalah-fiqih/   
ü  http://syariahislamonline.blogspot.com/2011/09/sebab-sebab-ikhtilaf-dalam-fiqih.html
ü  http://saputra51.wordpress.com/2013/01/05/10-faedah-tentang-ikhtilaf/
ü  http://ulieljamiel.wordpress.com/2013/04/09/ikhtilaf-ijtihad-menuju-perkembangan-fiqih/
ü  http://syariahislamonline.blogspot.com/2011/09/sebab-sebab-ikhtilaf-dalam-fiqih.html
ü  http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/12/Mengenal-Perkembangan-Mazhab-Fiqih-dalam-Islam.html
ü  http://www.slideshare.net/novajiowdennis/periodeisasi-fiqhppt-newpptb
ü  http://hanafiyesss.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqh.html
ü  http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id/volumeviii1/volume-viii-2/menelusuri-historisitas-pembentukan-hukum-islam-menggagas-yurisprudensi-islam-indonesia.html
ü  http://www.himmahsalaf.org/2013/01/kesalahfahaman-wahabi-dalam-memaknai.html
ü  http://www.dieza.web.id/2011/01/perbandingan-mazhab.html


[1] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1997. Hal. 50
[2] Hasan, M.Ali, Perbandingan Madzhab, Rajawali Pers, 2002, hal.114

1 komentar: